Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apabila kita melihat dalam kilasan sejarah, akan kita dapati bahwa orang-orang yang paling besar jasa dan perjuangannya dalam membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Sahabat radhiyallahu’anhum.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, demikian pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya…” (QS. At-Taubah: 100)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah meridhai tiga kelompok manusia, yaitu; [1[ Kaum Muhajirin -yaitu para sahabat yang berhijrah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah- lalu [2] Kaum Anshar -yaitu para sahabat yang membantu dan membela dakwah Nabi dari para penduduk Madinah-, dan [3] Orang-orang yang mengikuti mereka -Muhajirin dan Anshar- dengan baik.
Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa kebaikan dan kemuliaan umat ini hanya akan bisa diraih dengan meniti jejak mereka. Mengikuti ajaran dan pemahaman mereka dalam beragama. Inilah yang dikenal oleh para ulama dengan istilah ‘manhaj/madzhab salaf’. Salaf artinya pendahulu. Mereka -yaitu para sahabat- adalah salaf bagi umat ini. Karena mereka memberikan contoh yang baik, maka mereka pun disebut dengan salafus shalih.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita semua mengimani bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah yang Allah turunkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah petunjuk dan kebenaran sekaligus rujukan untuk mengatasi segala problema dan sengketa.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa maksud ‘kembali kepada Allah’ yaitu kembali kepada al-Qur’an, sedangkan ‘kembali kepada Rasul’ yaitu kembali kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -ketika beliau masih hidup- dan kepada Sunnah-nya setelah beliau wafat.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)
Dari sini, kita bisa mengetahui betapa pentingnya umat Islam untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah/al-Hadits. Oleh sebab itu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan kitab ini -al-Qur’an- kaum-kaum dan akan merendahkan dengannya kaum-kaum -yang lain-.” (HR. Muslim)
al-Hadits atau as-Sunnah merupakan penegas, penjelas, dan pemberi keterangan tambahan bagi ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu mempelajarinya adalah perkara yang tidak boleh diremehkan apalagi disingkirkan. Lihatlah, sebagian orang di masa kini yang dengan berani menolak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan tidak sesuai dengan akal atau tidak rasional?! Subhanallah…
Seorang Imam Ahlus Sunnah besar di masanya, Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah mengatakan, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.”
Imam asy-Syafi’i rahimahullah bahkan mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat, bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya salah satu sunnah/ajaran atau hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena mengikuti/berpegang dengan pendapat siapa pun.”
Para imam madzhab yang empat pun sepakat menyatakan, “Apabila suatu hadits itu sahih, maka itulah madzhabku.” Demikianlah yang diajarkan oleh para ulama dan pembesar umat ini kepada kita.
Sampai-sampai Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan ahli hadits adalah penjaga bumi.” Inilah keyakinan yang selama ini luntur dan bahkan lenyap di dada banyak kaum muslimin, kita memohon ampun kepada Allah atas segala kelalaian ini.
Bukankah kita pernah membaca kitab al-Arba’in an-Nawawiyah dan Riyadhush Shalihin karya Imam an-Nawawi rahimahullah. Demikian pula para ustadz dan kiyai sering membolak-balik kitab Bulughul Maram dan Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqolani rahimahullah.
Apa sebenarnya hakikat dan intisari ajaran yang ingin mereka sampaikan? Tidak lain dan tidak bukan adalah keharusan umat ini untuk meniti jalan generasi terbaik, yaitu generasi Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ajma’in, bukan jalannya para pembenci Sahabat!!
Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat ada orang yang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah Zindik/orang sesat.”
Sehingga tidaklah mengherankan jika Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mewanti-wanti generasi berikutnya setelah mereka, “Ikutilah ajaran dan jangan kalian membuat-buat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan [dengan ajaran Nabi, pent].”
Imam Malik rahimahullah bahkan memberikan pernyataan yang sangat gamblang, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Majisyun dan dicantumkan Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya al-I’tisham, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap hasanah/kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah…”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Maka sesungguhnya rahasia kejayaan umat ini adalah dengan meniti jejak generasi terbaik yang telah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang membuat baik generasi awalnya.”
Dan diantara kenyataan pahit yang kita jumpai di masa ini -di berbagai negeri Islam- adalah tersebarnya syirik, bid’ah dan khurafat dalam berbagai sudut kehidupan dan relung kebudayaan. Sesuatu yang menandakan jauhnya mereka dari cahaya tauhid dan sunnah, tenggelam dalam kubangan syirik dan bid’ah, wal ‘iyadzu billah… Kecuali orang-orang yang dirahmati Allah.
Secara fisik, mungkin kita sudah merdeka dari penjajahan, namun barangkali secara ideologi dan budaya, keadaan kita jauh dari merdeka.
Ustadz Sufyan hafizhahullah berkata, “Selama akidah masih terjajah, umat ini takkan berjaya. Inti dari akidah adalah tauhid, dan inilah yang senantiasa dirusak oleh musuh-musuh Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan umat Islam terletak pada tauhidnya yang kokoh, dan musuh tahu benar akan hal itu.” (lihat Tauhid Beres Negara Sukses, hal. 54)
Dari kenyataan itulah, kita dapati para pemuka dakwah Islam di negeri kita -semacam Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, KH. Ahmad Dahlan, dan selainnya rahimahumullah– mengajak kita -segenap kaum muslimin di negeri ini, penguasa maupun rakyatnya- untuk kembali kepada pemahaman Islam yang murni dan membersihkan diri dari berbagai praktek Takhayul, Bid’ah, dan Churafat [TBC].
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11). Salah seorang pemuka gerakan dakwah pernah mengatakan, “Tegakkanlah daulah/negara Islam itu di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di bumi kalian.”
Apabila pada hari-hari ini kita merasa sedih dan prihatin dengan pembantaian dan kezaliman yang dialami saudara kita di berbagai belahan bumi -apakah di Suriah, di Palestina, di Irak, di Mesir, dan lain sebagainya- maka kita pun harus prihatin dengan berbagai praktek syirik dan kekafiran yang menjamur dan ‘mendarah daging’ pada diri putra-putra umat Islam di negeri ini dan negeri-negeri lainnya.
Bukankah kita masih ingat, kasus air sakti Ponari? Bukankah kita masih ingat tentang ‘berkah’ kotoran kerbau Kiyai Slamet? Bukankah kita masih ingat tentang ‘berkah’ air bekas cucian pusaka? Bukankah kita masih ingat sesaji yang dipersembahkan oleh sebagian masyarakat untuk penguasa laut selatan, sesaji untuk penguasa gunung Merapi? Bukankah kita masih ingat adanya ‘persembahan-persembahan’ untuk menolak Tsunami dan gempa bumi? Apalagi kubur-kubur yang dikeramatkan, aduhai tidakkah kita sadar dan tanggap akan ‘bencana besar’ ini?!
Sadarlah… sadarlah…, wahai saudaraku! Sesungguhnya kehinaan dan keterpurukan ini bersumber dari diri kita sendiri… Qul huwa min ‘indi anfusikum [katakanlah; itu semua adalah bersumber dari diri kalian sendiri]. Inilah nasihat singkat untuk diri kami dan kaum muslimin sekalian, semoga bermanfaat dan menambahkan kepada kita semangat.